Subhanallah... Ternyata Dia Memang Berbeda ( Cerpen )


Subhanallah... Ternyata Dia Memang Berbeda


   Bu Salis bicara panjang lebar menasihati kami yang sebentar lagi akan menghadapi Ujian Nasional penentu masa depan kami.
Anlak (Anti laki-laki). Kata itu dan itu yang selalu beliau katakan kepada kami
“Jangan pikirkan yang macam-macam, jangan bertingkah yang aneh-aneh, kalian harus rajin belajar dan terus semangat. Untuk kalian para perempuan, Anlak. Hilangkan sejenak perasaan dan pikiran itu sampai kalian berhasil (lulus) dan mendapatkan hasil yang memuaskan”.
Nasihat beliau kepada kami.
Kebetulan bu Salis wali kelas 12 IPA 1. Beliau mengajar Kewarganegaraan. Disela-sela mengajarnya, beliau selalu memberikan nasihat dan motivasi kepada kami.
Saat itu pikiranku sama dengan beliau, akan fokus dalam belajar untuk menghadapi ujian nanti. Aku tidak akan memikirkan cinta dan akan menghilangkan cinta sejenak dalam pikiranku.
Siang itu, shalat dzuhur berjamaah aku bertemu dengan Esah, seorang sahabatku yang berbeda kelas denganku.
“Esah, yang itu namanya siapa yah?” tanyaku.
“Yang mana Ndri?”
“Itu lho yang duduk di  paling ujung yang lagi dzikir, perasaan dari tadi shalatnya tapi kok belum selesai juga yah?”.
“Owh... itu, namanya Surya”  Jawab Esah.
“Surya, anak 12 IPA 4 juga kan?”
“Iya”.
Dia Surya, owh namanya Surya. Subhanallah, dia berbeda dengan yang lainnya.
Keesokan harinya aku bertemu dengan dia, laki-laki yang satu sekolah denganku, tapi aku baru mengenalnya akhir-akhir ini. Aduh, kemana ya aku selama ini, tiga tahun satu sekolah dengannya tapi baru kenal sekarang. Aneh...
“Dilepas dulu mukenanya, biar mudah pake kerudungnya” sapa dia kepadaku
Dag dig dug, hatiku bergetar mendengar teguran pertama darinya dan bahagia sekali rasanya. Teguran pertama darinya itu menunjukan rasa perhatiannya kepadaku.
“I... Iya, tapi kalau aku lepas mukenanya, nanti rambutnya kelihatan dong”. Balasku dengan perasaan gugup.
Hari-hari berlalu,teguran pertama darinya waktu itu masih teringat jelas dalam benakku.
 Andaikan saat-saat seperti itu bisa terulang lagi.
“Indri, katanya Surya minta nomor handpone kamu, boleh enggak nih?” tanya Indah kepadaku.
“Hmm... Surya, ya kamu kasih aja Ndah, banyak teman kan lebih baik”.
Jawabku dengan perasaan senang.
“Ya Ndri, aku kasih”.
Ya Allah dia meminta nomor handpon ku benarkah ini...?
Sore itu, ada sebuah pesan dihandponeku. Pesan yang membuat hatiku bergetar dan bertanya-tanya. Pesan itu menjadikan awal bagiku untuk menjalani komunikasi dengan dia.
Kata-kata dalam pesan itu berbeda, seperti mempunyai aura tersendiri.
Setelah terasa akrab berkirim pesan dihandpone, munculah perasaan itu. Perasaan yang aneh bagiku. Mungkinkah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku.
Dia berbeda dengan yang lainnya, dia begitu shaleh taat akan perintah-Nya.
Kata-kata dalam pesan yang selalu dikirimnya kepadaku, membuat hati ini semakin yakin akan perasaan yang ada. Apalagi dia selalu memanggilku dalam pesannya dengan sebutan ‘Peri Cantik’.
Entah aku tak mengerti apa maksudnya. Padahal aku tidak cantik dan tidak sebaik Malaikat (Peri).
Ketika acara rapai OSIS, aku bertemu dengan Ayu dan Fitry. Kami sempat ngobrol-ngobrol saat itu.
“Yu, kamu punya rekaman orang baca Qur’an enggak?” tanya Fitry kepada Ayu.
“Hmm... aku enggak punya Fit, yang punya banyak mah si Surya. Coba aja kamu minta sama dia kalau enggak ke Indri” jawab Ayu.
“Lho, kok ke aku Yuk, langsung aja ke orangnya jangan melalui aku”. Respondku.
“Ya kamu kan lagi deket sama Surya, jadi melalui kamu aja Ndri, siapa tahu kalau kamu yang minta dikasih semuanya.
Hehehe...”.
Aku diam sejenak setelah mendengar perkataan Ayu tadi, sepertinya Ayu mengetahui banyak hal tentang Surya dan ternyata Surya juga mengirim kata-kata dalam pesan itu kepada Ayu, Indah dan Icha. Ketika aku mendengar perkataan Ayu tentang Surya, hatiku seperti tersayat sembilu, perih sekali. Surya yang selama ini aku anggap baik dan berbeda, ternyata sama seperti yang lainnya. Perasaanku kecewa, kecewa sekali saat itu, hingga aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan dia.

Hari-hari berlalu begitu cepat, tidak terasa hari ini adalah hari pertama kami menghadapi Ujian Nasional. Aku yakin kan diri ini akan mampu menghadapi soal-soal yang ada dalam lembaran kertas yang penuh misteri itu. Dengan diawali do’a dan harapan yang kuat, kami mulai mengerjakan soal demi soal dari lembar kertas itu. Dua jam berlalu, ujian hari pertama akhirnya selesai. Menjelang ujian hari kedua, ketiga dan hari terakhir aku tidak merasakan gugup lagi. Aku anggap lembar kertas itu seperti lembar kertas ulangan harian biasa. Diruangan itu mungkin hanya aku yang terlihat santai dalam mengerjakan soal-soal.
Hari penentuan itu pun akhirnya terlewati dan tidak terasa sudah satu minggu aku tidak berkirim pesan lagi dengan Surya. Aku yakinkan hati ini untuk menjernihkan perasaan yang kelam akan kesalahpahaman waktu itu.
“Assalamu’alaikum, pagi...
Hmm... Maaf ya aku ganggu waktunya. Aku cuma mau minta maaf atas semua kesalahanku dari sikap dan perbuatanku kepadamu”.
Pesan dariku tidak ada respond. Karena hati gelisah, aku coba untuk mengirimnya lagi.
“Kamu marah ya? Aku minta maaf yah Surya, maaf banget”.
Treet... handponeku bergetar, ada sebuah pesan didalamnya.
“Wa’alaikumsalam... Iya, kamu enggak salah apa-apa kok, ada juga aku yang seharusnya minta maaf. Aku baru sempat sms dan balas pesan kamu sekarang, soalnya akhir-akhir ini aku sibuk belajar untuk menghadapi Ujian Nasional dan alhamdulillah akhirnya selesai juga. Tadi aku lagi mandi, mau siap- siap Jum’atan ke Masjid jadi baru aku balas sekarang. Maaf ya Indri”.
Ya Allah, ternyata aku salah menilai dia. Dia tidak seperti yang aku sangka, ternyata dia baik, dia tidak marah kepadaku, dia berbeda dengan yang lainnya.
Handponeku bergetar lagi
“Aku mau ke Masjid dulu yah Peri Cantik, nanti kita sambung lagi, dah Peri Cantik”.
“Jadi kamu enggak marah sama aku?”
“Marah, ya enggak lah, masa aku marah sama Peri Cantik”.
“Beneran Surya?”
“Ya iya Peri Cantik. Udah dulu ya mau ke Masjid”.
“Ya, hati-hati yah”.
“Ya, wassalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”.

Jam dinding menunjukan pukul satu, tapi dia belum juga mengirim pesan kepadaku. Apa dia sibuk atau dia lupa akan janjinya? Pikirku.
“Assalamu’alaikum Peri Cantik... udah shalat dzuhur belum nih?”
Ternyata dia tidak lupa akan janjinya
“Wa’alaikumsalam, alhamdulillah udah” balasku.
“Kalau makan siangnya udah belum?”
“Ya alhamdulillah udah”.
“Peri Cantik, aku mau tanya sesuatu nih”
“Mau tanya apa yah?”
“Tapi jawab dengan jujur yah”.
“Ya Insya Allah, apa yah?”
“Akhir-akhir ini kamu aneh Ndri jarang kirim pesan kepadakua, seperti ada sesuatu yang menyumbat pikiranmua”
“Owh... enggak ada apa-apa kok. Aku Cuma ingin fokus dalam belajar untuk menghadapi ujian, itu aja”.
“Kamu bohong Ndri, sepertinya ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, katakanlah apa itu Ndri? Apa salahku, sehingga kamu menjauh dariku. Jujur, aku memberanikan diri berkata seperti ini. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman diantara kita Ndri. Aku berani berkata dan bersikap seperti ini hanya kepadamu Ndri”.
“Bukannya kamu bersikap seperti ini sama kepada tiga sahabatku itu” jawabku
“Tiga sahabat, apa maksudmu Ndri?”
“Iya, Ayu, Indah dan Icha, tiga sahabatku juga mendapatkan perhatian yang lebih darimu Surya”.
Tidak terasa butiran mutiara itu pun membasahi pipiku. Kami terdiam sejenak, tidak ada balasan pesan darinya.
“Wanita itu hatinya lembut dan mudah tersentuh, dengan sikap kamu seperti ini yang memberikan perhatian kepada kami seolah-olah memberikan harapan kepada aku, Ayu, Indah dan Icha”.
“Aku bersikap seperti itu kepada kalian karena aku sangat menghargai wanita, aku tidak ingin menyakiti perasaan wanita, karena wanita itu akan menjadi seorang ibu nantinya” jawabnya.
“Iya, memang kamu benar, tapi cara kamu memberikan perhatian kepada aku, Ayu, Indah dan Icha itu yang aku sayangkan, harusnya kamu bisa memilih”.
“Ya, aku memang salah, aku tidak sepintar kamu. Tapi kalau masalah siapa yang akan aku pilih, ya itu masalah nanti, aku juga tidak akan memilih semuanya, aku akan memilih salah satu diantara kalian. Aku lebih merasa dekat denganmu Ndri”.
Perdebatan dalam pesan singkat itu pun semangkin memuncak, tidak ada pesan dan balasan. Hening sejenak. Butiran mutiara semakin membasahi pipiku. Terasa bagaikan membasuh wajah dengan segayung air, basah sekali.
Setengah jam berlalu, setelah perasaan itu kembali tenang, kami pun kembali berkirim pesan.
“Maafkan aku Indri”
“Kamu tidak salah Sur, jadi jangan minta maaf, harusnya aku yang minta maaf, aku yang salah, aku yang terbawa oleh amarah, aku minta maaf yah”
“Tidak Ndri, kamu tidak salah, aku yang salah. Kamu benar, sikapku ini tidak baik, seolah-olah memberikan harapan kepada kalian semua. Aku sadar itu. Tapi sungguh Ndri, tidak ada maksud yang buruk kepada kalian”.
“Ya aku mengerti”.
“Ndri, semenjak aku kenal denganmu, aku merasakan hal yang berbeda, kamu bisa menerangi perasaanku, kamu berbeda dengan yang lainnya Ndri, aku bahagia sekali bisa mengenalmu Indri”.
“Ya aku juga sama sepertimu”
“Sama, sama apa maksudmu?”
“Ya sama, bahagia bisa mengenalmu”.
“Owh... Cuma bahagia” tanyanya
“Iya, aku bahagia, bahagia sekali bisa mengenalmu, ternyata kamu berbeda dengan yang lainnya. Kamu baik dan pengertian”.
“Akh... kamu bisa saja memuji, jadi gr nih”
“Ini fakta lho, kamu memang berbeda dengan yang lainnya, aku kagum dan salut padamu Surya. Terima kasih yah kamu telah membuka mata hatiku yang kelam, terima kasih kamu telah mengajariku banyak hal dari permasalahan ini dan terima kasih atas semua perhatianmu kepadaku Surya”
“Ya, Indri aku juga kagum dan salut padamu, akan ketaatanmu kepada-Nya, akan perhatianmu kepadaku dan terima kasih atas semua pelajaran yang secara tidak langsung kamu berikan kepadaku Indri”.
“Ya, sama-sama Sur”


Alhamdulillah permasalahanku dengan Surya akhirnya selesai, kami saling mengerti dan memahami. Dia memang baik, baik sekali. Dan akhirnya aku bisa lulus dengan hasil yang memuaskan. Aku juga menjadi siswi terbaik pertama di sekolahku.
Surya, Surya yang menerangi hatiku. Hati yang kelam akan rasa. Sekarang aku tersadar, ternyata hidup itu indah jika kita menjalaninya dengan perasaan husnudzan kepada semua orang, tetap berusaha dan tidak menyalahi takdir. Karena semuanya telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz oleh-Nya.











Ya Allah...
Engkau yang Maha Mengetahui isi hati ini
Aku hanya manusia yang penuh dengan kesalahan
Terangilah jalan hidup ini
Ya Robb....
Terima kasih Engkau telah mempertemukanku dengan dia
Jika kami baik, dekatkan lah dan jika tidak, jauhkan lah
Engkau yang mengetahui harapan ini
Ya Robb...
Satukan lah kami suatu saat nanti






Oleh : Reni Indriani
Sekolah : MAN Kragilan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Peninggalan Kesultanan Banten di Masjid Pangeran Aria Singarajan

Rice Cooker Rusak Karena Menggoreng

Indonesia Ku Ngelayab ning Masjid Istiqlal Jakarta